Stasiun Maguwo awalnya merupakan sebuah halte yang dibangun tahun 1909 oleh perusahaan kereta api swasta  Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Sebelumnya, pada 21 Mei 1873 NISM telah menyelesaikan jalur kereta api dari Solo menuju Yogyakarta. Pembangunan tersebut merupakan bagian dari jalur kereta api Semarang-Vostenlanden (Yogyakarta dan Solo), jalur kereta api pertama di Indonesia yang bertujuan mengangkut hasil tanaman ekspor (terutama gula) untuk diangkut ke Pelabuhan di Semarang yang selanjutnya diekspor ke Eropa.

Bangunan Stasiun Maguwo memiliki materi penyusun bangunan utama dari kayu. Tahun 1926 NISM melakukan perluasan Stasiun Maguwo Lama untuk meningkatkan pelayanan. Stasiun ini berfungsi sebagai tempat naik-turun penumpang dan barang. Barang yang diangkut salah satunya gula dari Pabrik Gula Wonocatur yang terletak tidak jauh dari stasiun.

1 Tampak dpn st maguwo rev

Tampak depan Stasiun Maguwo Lama. (Sumber: Spoorwegstations op Java)

Stasiun Maguwo menjadi saksi Agresi Militer Belanda II tahun 1948, stasiun ini menjadi pusat pengangkutan pasukan Belanda setelah terjun payung di Landasan Udara Maguwo (saat ini Bandara Adisucipto. Semasa aktif, Stasiun Maguwo melayani bongkar muat pupuk Sriwijaya ke gudang pupuk serta melaani pengangkutan ketel untuk memasok avtur ke Bandara Adisucipto.

Sekitar tahun 2008, kegiatan operasional Stasiun Maguwo bergeser ± 600 meter ke arah timur setelah PT KAI membangun stasiun baru tepat di bandara Adisucipto, dengan tujuan interkoneksi antar moda transportasi. Dari sinilah istilah Maguwo Lama muncul, untuk membedakan dengan Stasiun Maguwo yang dibangun baru.

2 Peta Lokasi St Maguwo Lama NISM rev

Lokasi Stasiun Maguwo Lama milik NISM ditandai lingkaran berwarna merah, disebutkan “Halte Magoewo”. Tidak jauh dari stasiun, dari arah barat daya terletak Pabrik Gula Wonocatur. (Sumber: maps.library.leiden.edu)

3 Peta lokasi St Maguwo Lama 2 rev

Stasiun Maguwo yang dibangun tahun 2008 ditandai warna hijau. Stasiun ini terintegrasi dengan Bandara Adi Sucipto dengan menggunakan Kereta Pramex. Sedangkan letak eks Stasiun Maguwo atau lebih dikenal dengan Stasiun Maguwo Lama ditandai lingkaran berwarna merah. (Sumber: Maps.google.com)

Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2010 dijelaskan bahwa pelestarian cagar budaya adalah upaya untuk mempertahankan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan.

Stasiun Maguwo Lama hingga saat ini belum ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah, akan tetapi Stasiun Maguwo Lama memenuhi beberapa kriteria cagar budaya antara lain memiliki usia lebih dari 50 tahun, memiliki masa gaya arsitektur indis, dan memiliki nilai penting sejarah dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan hal tersebut, bangunan Stasiun Maguwo Lama diduga sebagai Bangunan Cagar Budaya. Dalam UU Cagar Budaya, bangunan yang diduga cagar budaya mendapatkan perlakuan yang sama seperti Bangunan Cagar Budaya. Upaya pelestarian Stasiun Maguwo Lama saat ini baru pada upaya pelindungan, belum dilakukan upaya pengembangan dan pemanfaatan. Berikut disampaikan upaya-upaya perlindungan Stasiun maguwo Lama yang telah dilakukan PT Kereta Api Indonesia (Persero):

1. Restorasi (Mengembalikan keaslian bentuk Bangunan Cagar Budaya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah)

4 Restorasi Bangunan

2. Pemeliharaan Bangunan Stasiun Maguwo Lama

5 Restorasi Pintu

3. Jejaring Sosial dengan komunitas dalam pemeliharaan Stasiun Maguwo Lama

6 Upaya Pelestarian

4. Upaya perlindungan Stasiun Maguwo Lama dengan pemagaran 

8 Hasil Restorasi

Sumber :

  • Adhi, Putra Tiyas, Penentuan Batas Kawasan Stasiun Lempuyangan-Balai Yasa Pengok Yogyakarta dalam Upaya Nominasi KCB
  • Maps.library.leiden.eu
  • Maps.google.com
  • Michiel van Ballegoijen de Jong, Spoorwegstations op Java