Pelopor perkeretaapian di Indonesia adalah Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Sebuah perusahaan kereta api swasta yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Jalur awal yang dibangun NISM ialah Semarang – Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta). Selain itu dibangun pula jalur percabangan dari Kedungjati ke Ambarawa. Kesluruhan rampung tahun 1873.

Dalam perkembangannya, NISM membangun jalur kereta api Jakarta-Bogor (1872), Jogja-Srandakan-Brosot (1915, Jogja-Magelang-Ambarawa (1905), dan Solo-Wonogiri-Baturetno (1923). Di lintas timur, NISM membangun jalur kereta api ke Surabaya (1903) dimulai dari Gundih melalui Cepu. Namun pada tahun 1913, jalur Jakarta-Bogor dibeli oleh perusahaan kereta api Negara, Staatsspoorwegen (SS). Sampai tahun 1928, NISM mengoperasikan 875 km jalur kereta api.

Awalnya administrasi perkantoran NISM dilaksanakan di Stasiun Samarang. Seiring pertumbuhan perusahaan yang pesat ditandai aktivitas yang semakin sibuk, serta meningkatnya jumlah personil teknis dan administratif. Kantor di Stasiun Semarang pun  dianggap tidak lagi memadai. Jalan keluar sementara, NISM menyewa beberapa bangunan milik perorangan. Tetapi karena dirasa tidak efisien dan lokasi kantor di Stasiun Samarang NISM berada di kawasan rawa – rawa sehingga tidak sehat. Akhirnya diputuskan membangun sebuah kantor administrasi baru.

Pilihan lokasi kantor baru jatuh ke lahan yang berada di pinggir Kota Semarang, tepatnya di dekat Wilhelmina Plein. Terletak strategis berada di simpul pertemuan jalur Bodjongweg (kini dikenal dengan Jalan Pemuda) dengan Kendalweg. Proses perancangan Hoofdkantoor (kantor pusat) NISM dipercayakan kepada Prof. Jakob F. Klinkhamer di Delft dan B. J. Oundag, seorang arsitek di Amsterdam. Menariknya, desain bangunan dilakukan di Amsterdam, baru kemudian gambar dibawa ke Semarang.

Pelaksanaan pembangunan dimulai pada 27 Februari 1904dan rampung pada 1 Juli 1907. Bangunan awal yang didirikan adalah rumah penjaga, ruang percetakan serta bangunan utama. Pembangunan menggunakan bahan baku bermutu prima yang banyak dipesan khusus dari Eropa. Selain itu digunakan beberapa bahan baku local. Setelah bangunan utama dipergunakan hampir satu dekade, bangunan kantor ini pun dirasa tidak memadai lagi untuk menampung aktifitas kantor yang semakin sibuk. Maka diputuskan untuk diperluas dengan membangun gedung baru yang sekilas tampak mirip dengan bangunan pendahulunya.

Pembangunan kantor tambahan terletak di sisi timur laut berukuran 23 x 77 m yang dilakukan kurun tahun 1916 – 1918. Berbeda dengan bangunan utama yang berbentuk L, bangunan tambahan ini dibangun memanjang. Selain itu digunakan bahan baku lokal yang lebih murah. Kendati demikian, bangunan ini sudah menggunakan konstruksi beton bertulang, salah satu teknologi mutakhir pada saat itu. Kini, baik bangunan utama maupun tambahan tersebut dikenal dengan Lawang Sewu. Penamaan tersebut mengacu pada banyaknya jumlah pintu yang sangat banyak, lawang (pintu) sewu (seribu).

Sumber:

  • Korte Geschiedenis der Nederlandsch Indische Spoor en Tramwegen
  • Het Administratiegebouw der Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij te Semarang

NISM-Recovered rev