Kisah ini dituturkan kembali oleh Lau Kha, seorang warga Bogor yang merupakan anak mantan aannemer (kontraktor) Cina untuk pembangunan jalur kereta api lintas Warung Bandrek–Cilacap (1889-1893). Saat Lau Kha menyampaikan cerita kepada wartawan Intisari pada awal 1964, usianya saat itu sudah 70an tahun. Entah kenapa Lau Kha rupanya sengaja tidak mengungkap nama asli ayah kandungnya itu. Ia hanya bilang bahwa warga kampung Gudang, Buitenzorg (sebutan Bogor zaman Belanda) tempat ia berjualan kerap memanggil ayahnya dengan sebutan ‘Babah K.’

Sebelum menjadi kontraktor kereta api dalam kesehariannya Babah K dikenal sebagai saudagar sukses di bidang kopi dan kapur. Dalam perdagangannya Babah K kerap dikirimi bermacam minuman keras impor. Saban hadiah minuman itu didapat, ia tidak habiskan sendiri, tetapi dibagikan kepada seorang peranakan Eropa yang bertamu ke rumahnya per dua minggu sekali. Orang Indo-Belanda ini rupanya yang mengenalkan Babah K kepada kepala insinyur dinas kereta api negara Staatsspoorwegen (SS). Kepada petinggi SS itu diceritakan tentang profil Babah K yang ramah, suka menolong sesama, dan terkenal jujur. Di dalam majalah Intisari edisi Februari 1964 itu Lau Kha menceritakan bahwa saat kisah ini terjadi di usia ayahnya 36-40 tahun.

Pada suatu siang di pertengahan 1890 berhentilah di depan toko Babah K sebuah kereta bagus ditarik 2 kuda putih. Tidak lama kemudian seorang pria Eropa setengah baya turun dari kereta. Meski bahasa melayunya patah-patah kadang bercampur dengan bahasa Belanda, pria tersebut berusaha sopan bertanya kepadanya apakah ia sedang berbicara dengan Babah K.

“Itulah saya punya nama, Tuan Besar,” sahut saudagar kopi-kapur itu sembari mempersilahkan tamunya masuk ke dalam. Di ruang tamu yang besar itu Babah K menyuguhkan kopi asli Priangan hasil kebunnya sendiri. Sebentar berbasa-basi, pria Eropa membuka percakapan inti: “Saya berusaha lama buat capai maksud saya, dengan harapan, satu kali ini saja boleh beruntung. Babah, saya ini utusan dari tuan ingenieur hoofdinspecteur van SS. Yang sekarang mau mulai werken in Oost Preanger (Priangan Timur).”

Sambil kembali menyeruput nikmat kopi, pria Eropa itu kembali berkata: “Pada saya suka datang sinyo tua, mengaku teman dekat Babah. Saya tidak percaya obrolannya karena banyak kali pujikan nama Babah. Dia bilang kalau nanti SS perlu aannemer, Babah jadi persoon (orang) paling geschikt (cocok). Tapi saya ulangkan, saya tidak percaya sama sinyo ini. Maka dari itu saya cari keterangan luas di Buitenzorg en Batavia, saya dapat banyak sekali penetapan, Babah itu orangnya jujur. Saya perlu orang jujur. Sekarang saya datang pada Babah buat menanya, apakah Babah suka jadi aanemer? Harapan saya Babah terima itu pekerjaan!”

Babah kaget tapi bercampur senang dan bangga. “Tuan Besar, bukan saya tidak suka menerima, saya maturkan terima kasih atas budi Tuan Besar, namun saya merasa tidak mempunyai modal cukup buat jadi aannemer.”

“Modal itu bukan soal, yang utama adalah kejujuran!” balas pria Eropa itu. “Babah boleh dapat voorschot (persekot/ uang muka), berapa pun Babah merasa perlu pakai,” lanjutnya sambil memberikan tanda kepada anak buahnya segera menyiapkan beberapa gepok gulden. Setelah menghitung sebentar, ia langsung memberikan uang tersebut kepada Babah K sambil berkata: “Nah, kalau begitu, anggap saja sudah beres!”

Beberapa minggu kemudian Babah K resmi menjadi mandor pembangunan jalur kereta api negara lintas Warung Bandrek–Cilacap. Tugasnya menyuplai barang-barang material pembangunan, mengerahkan pekerja kontrak termasuk logistiknya. Tenaga kerja yang disediakan Babah K untuk SS merupakan kuli bebas yang dibayar. Memang ada kuli wajib dalam pembangunan jalur kereta api. Umumnya tenaga kerja paksa tersebut dikerahkan oleh para bupati setempat yang daerahnya ingin dilewati jalur kereta api.

Menurut Babah K, dibanding tenaga kerja paksa, kuli bebas bekerja lebih rajin, telaten dan efisien. Meski demikian ada pula saat Babah K kelimpungan mencari tenaga kerja pengganti. Sebagian besar kuli bebas merupakan para buruh tani yang lebih banyak menganggur saat musim tanam selesai. Tatkala memasuki musim panen padi para kuli tersebut ramai-ramai meninggalkan pekerjaannya di proyek pembangunan dan beralih kembali menjadi buruh tani.

1 Pembangunan jembatan kereta api melintasi sungai citanduy di ciamis rev

Pembangunan jembatan kereta api melintasi Sungai Citanduy di Ciamis, 1890. (Sumber: KITLV No. 100066)

Singkat kata, pekerjaan pemasangan rel berjalan lancar. Dari Cekungan Bandung ke arah timur, rel dipasang berkelok-kelok mengikuti kontur pegunungan Priangan. Ratusan pekerja dikerahkan Babah K. Mereka diberi pemondokan dalam tenda-tenda, dalam gubuk-gubuk beratap rumbia bersama para insinyur Belanda. Pemasangan rel di tanah pegunungan lebih susah daripada di tanah datar. Banyak jembatan dibangun menyeberangi jurang. Pada beberapa bukit, sebagian lahan di kakinya harus dipapas untuk menjadi jalannya kereta api. Kepada Lau Kha, Babah K mengungkapkan pekerjaan menjadi mandor cukup melelahkan karena jarak yang terpencil menyusahkan pengiriman material, belum lagi harus mengawasi para pekerja yang enggan bekerja apabila harus membelah batu besar atau memotong pohon tua karena dipercaya bisa mendatangkan celaka apabila dipaksakan. Kalau situasi sudah begini, Babah K harus pintar-pintar mengikuti kemauan para pekerja dengan mengadakan acara selamatan kecil dan memberikan beragam alasan kepada insinyur Belanda sebagai jalan tengahnya.

2 Stasiun Malangbong pada 1900 rev

Stasiun Malangbong pada 1900 sebagai bagian dari proyek pembangunan jalur kereta api Warung bandrek–Cilacap 1890-1893. (Sumber: KITLV No. 100050)

 

Menurut Agus Mulyana dalam disertasinya tahun 2005 berjudul “Melintasi Pegunungan, Pedataran, hingga Rawa-Rawa; Pembangunan Jalur Kereta Api di Priangan 1878-1924,” menguraikan bahwa salah satu tujuan penting pembangunan jalur KA Priangan–Cilacap adalah pengembangan wilayah Priangan tenggara (Cibatu, Tasikmalaya, Ciamis dan sekitarnya). Kebutuhan konsumsi penduduk di sana banyak disuplai dari Cirebon memakai tenaga pikul kuli yang menyebabkan harga-harga menjadi lebih mahal. Di sisi lain, produk pertanian dari Priangan tenggara juga sulit diekspor. Dengan dibangunnya jalur KA, rantai pasokan menjadi lancar dan kesulitan-kesulitan di atas dapat teratasi.***

 

Sumber :

IBNU MURTI HARIYADI