547477_3450631422468_763315563_n

Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Di tengah kemunduran moral tentara Jepang, para pemimpin pergerakan yang diwakili oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta segera mengambil kesempatan untuk menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Meski secara de jure wilayah Indonesia yang sudah diproklamasikan masih merupakan status quo dari jajahan Belanda, kenyataannya sejak saat itu dan beberapa hari setelahnya segera terbentuk kabinet menteri dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.

Meski masih minim mendapat pengakuan internasional, selama dua bulan sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintahan Republik Indonesia berjalan mulus tanpa gangguan. Kantor-kantor pemerintahan berangsur-angsur beralih dari kekuasaan Jepang ke tangan Pemerintah RI. Bahkan instansi strategis seperti kantor pusat jawatan kereta api Rikuyu Sokiyoku di Bandung pun sudah berhasil diambil alih sejak 28 September 1945.

Perhatian publik dunia segera tertuju ke Indonesia tatkala tentara Sekutu Inggris untuk pertama kalinya mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945. Lima hari kemudian pasukan Sekutu yang lebih besar kembali merapat di Pelabuhan Surabaya pada 25 Oktober 1945. Kedatangan tersebut selain disertai para pewarta internasional ternyata juga ditumpangi oleh para pejabat lama era Hindia Belanda yang hendak kembali berkuasa di Indonesia. Umumnya mereka menyadari bahwa keadaan sudah tidak seperti sebelumnya saat Belanda masih memerintah.

Seolah hendak membuka mata dunia, grafiti-gratifi berbahasa Inggris bermunculan di kota-kota yang sering dilewati pasukan Sekutu. Coretan grafiti yang muncul isinya mendukung kedaulatan Republik Indonesia, seperti: “WE ARE A FREE NATION CONCEIVED IN LIBERTY,” “ALL MEN CREATED EQUAL,” “FOR SOCIAL-JUSTICE,” “INDONESIA NEVER AGAIN THE LIFE BLOOD ANY NATION,” “RESPECT OUR CONSTITUTION, AUGUST 17,” dan ribuan grafiti lain yang terpampang jelas di tembok-tembok kota. Tidak hanya itu, grafiti-grafiti juga ditulis di dinding trem, gerbong, dan kereta penumpang agar senantiasa terlihat dan tersebar ke kota-kota lain. Selain grafiti berbahasa Inggris, coretan bernuansa nasionalisme juga banyak terlihat, seperti “BOENG AJO BOENG,” “AWAS PENGHIANAT BANGSA,” “TIDA MAU DIDJADJAH LAGI.”

Salah satu isi grafiti yang paling terkenal selama masa Revolusi Fisik 1945-1949 adalah “MERDEKA ATAOE MATI.” Kalimat ini sering terlihat dalam foto-foto dan film dokumenter perang 1945-1949 yang terdapat di dinding kereta api di Jawa. Grafiti “MERDEKA ATAOE MATI!!” yang tercantum di dinding kereta penumpang ini merupakan salah satu contoh yang bisa ditemui di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah. Gratifinya sendiri memang replika karena sejak akhir 1950 mulai banyak yang dihapus atau dicat ulang oleh DKA. Kereta “MERDEKA ATAU MATI” ini berdinas sejak 1935 sampai 1976, dan setelah itu lebih sering diparkir seiring masuknya kereta-kereta penumpang baru. Sejak 1991 sampai sekarang Kereta ini menjadi bagian dari koleksi museum.***