KRL dan PLTA Upaya Go Green Era Hindia Belanda
Pada 31 Oktober 2021 lalu menjadi hari bersejarah bagi Indonesia. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 20 negara maju dan berkembang, Indonesia resmi memegang presidensi G20. Presiden Joko Widodo mengungkapkan rencana Indonesia akan mendorong upaya bersama untuk pemulihan ekonomi dunia dengan tema besar “Recover Together, Recover Stronger.” Pertumbuhan yang inklusif, people-centered, berdasarkan pada program ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sementara itu menteri BUMN Erick Thohir di sela KTT COP26 Glasgow Inggris pada 1 November 2021 berpendapat bahwa rencana beberapa negara menanamkan investasi untuk mengembangkan sekaligus mengakselerasi green economy atau ekonomi hijau di Indonesia akan menjadi tantangan bagi BUMN. Ia menambahkan, usaha gencar BUMN untuk bertransformasi yang mengusung ekonomi rendah karbon jangan dipandang sebagai beban, tetapi juga sebagai peluang untuk memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang dapat dirasakan seluruh masyarakat.
Bak gayung bersambut, harapan Menteri BUMN tentang transformasi green economy itu rupanya sudah diterapkan oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Upaya terbaru perusahaan saat ini adalah pembuatan taman-taman alami di stasiun Pasar Senen, Jatinegara, dan Gambir yang juga bagian dari peningkatan pelayanan kepada para pelanggan. Di Bandung, penanaman pohon di area stasiun bahkan dipimpin langsung oleh Direktur Utama Didiek Hartantyo pada 7 Desember 2021 lalu. Tidak hanya itu, selama 2021 KAI telah berkontribusi dalam pemberian bantuan pelestarian alam kepada masyarakat di Jawa dan Sumatera dalam bentuk penanaman 13.050 batang pohon berbagai jenis.
Di bidang operasional sarana, langkah maju telah diambil dengan diresmikannya Kereta Rel Listrik (KRL) Yogyakarta–Solo pada 1 Maret 2021 oleh Presiden RI. Kehadiran KRL tersebut selain meningkatkan kemudahan bertransportasi juga akan mengurangi tingkat polusi udara. Hal itu karena adanya penggantian kereta rel diesel (KRD) Prambanan Ekspres (Prameks) berbahan bakar solar menjadi KRL bertenaga listrik.
“Ini adalah sebuah transportasi massal yang ramah lingkungan. Saya kira moda transportasi di negara kita ke depan harus semuanya mengarah kepada angkutan yang ramah lingkungan,” kata Presiden dalam peresmian tersebut. Selain ramah lingkungan nyatanya KRL Yogyakarta–Solo juga memiliki waktu tempuh lebih singkat yaitu 68 menit dibanding KRD Prameks yang memerlukan waktu 75 menit.
Bicara soal transportasi go green, perkeretaapian ramah lingkungan di Jawa sejatinya sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Latar belakangnya, Revolusi Industri yang sudah berlangsung sejak 1760-1850 telah membawa efek samping munculnya klaster polusi udara di kota-kota besar Eropa sebagai akibat begitu masifnya pemakaian batu bara sebagai sumber energi utama untuk menjalankan mesin-mesin uap industri.
Batavia sendiri pada akhir Abad XIX tampaknya sudah menjadi salah satu kota pionir di dunia dalam penyediaan layanan transportasi umum bebas asap. Sejak 10 April 1899 trem listrik mulai melayani masyarakat Betawi. Sebuah pencapaian bidang teknologi yang sangat baik, mengingat di negeri Belanda sendiri pada masa itu baru ada trem kuda. Namun demikian bukan berarti operasional trem di Batavia benar-benar tidak ada polusi. Aliran listrik yang menjadi sumber tenaga trem ketika itu berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Gambir yang berbahan bakar batu bara.
Gagasan kereta api ramah lingkungan muncul setelah jalur strategis Batavia–Buitenzorg (Bogor) dibeli negara pada 1913. Pertimbangannya adalah jarak antar stasiun KA di sana lebih pendek. Sedangkan KRL diketahui memiliki akselerasi lebih cepat dibanding lokomotif uap. Hal itu penting sebagai pengganti kehilangan waktu akibat sering berhenti di setiap stasiun dan halte. Tetapi alasan yang paling utama adalah agar kota menjadi lebih bersih dari kepulan asap hitam dari lokomotif uap.
Apabila trem listrik Batavia yang menggunakan gas batu bara sebagai sumber pembangkit listriknya, Jawatan Kereta Api Negara Staatsspoorwegen (SS) memilih cara yang benar-benar go green yaitu menggunakan tekanan air sungai sebagai tenaga penghasil listrik. Berdasarkan laporan tahunan SS 1916-1918, sejak 1916 tim kecil SS sudah merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai Ciantan dan Cimandiri.
PLTA Ubrug akhirnya selesai dibangun dan resmi beroperasi pada 1923. Sebagai transformator tegangan dari 6000 VA ke 1500 VA, antara 1922-1924 Dinas Tenaga Air dan Listrik membangun Gardu Induk di Ancol dan Jatinegara dengan suplai transmisi tegangan tinggi dari PLTA Ubrug. Dalam pengembangan elektrifikasi jalur kereta api selanjutnya, Jawatan Listrik kembali membangun PLTA “Kratjak.” PLTA yang memanfaatkan Sungai Ciantan itu beroperasi sejak 1926 yang ditujukan untuk mendukung suplai listrik lintas Manggarai–Bogor.
Dari hasil kajian internal SS, sebenarnya ada 3 jalur penting milik negara yang akan go green alias dielektrifikasi, yaitu Batavia–Bogor–Sukabumi–Bandung, Batavia–Karawang–Purwakarta–Padalarang–Bandung, dan Surabaya–Malang. Selain hasil penelitian SS, laporan studi awal Dinas Tenaga Air & Listrik yang dipresentasikan oleh G.A. Golliez dalam Kongres Insinyur di Batavia pada 8-15 Mei 1920 mengungkap bahwa para insinyur memprediksi kota-kota besar di sepanjang pantai utara Jawa seperti Batavia, Semarang, Surabaya akan terus berkembang maju dan ramai oleh para pekerja komuter dengan mobilitas tinggi. Kantong-kantong pemukiman (sub urban) baru akan bermunculan, demikian pula stasiun dan halte kelak dibangun seiring pertumbuhan penduduk di sekeliling kota yang semakin padat. Dengan demikian Jalur kereta api dan trem—baik milik swasta maupun negara—yang ada pada saat itu akan sangat layak untuk dielektrifikasi.
Meski rencana tersebut tidak kesampaian, elektrifikasi jalur KA utama di Jawa tampaknya akan menjadi kebutuhan penting, mengingat masalah pemanasan global akibat perubahan iklim. Hal ini akan berdampak pada keharusan semua negara untuk melakukan transisi energi.***
KRL Electrische Staatsspoorwegen (ESS) sedang terparkir di Stasiun Pasar Senen. (Sumber: Het Indische Leven 1924-1925)
Turbin pembangkit listrik PLTA Ubrug yang pernah dipakai untuk sumber listrik KRL Jakarta–Bogor, Sukabumi pada 2014. (Koleksi Foto: Ibnu Murti Hariyadi)