Perkeretaapian di Aceh memiliki keunikan tersendiri. Tidak seperti di Jawa, Madura, dan bagian lain di Sumatera, angkutan umum berbasis rel ini jenisnya berupa trem dengan lebar sepur lebih sempit yaitu 750 mm. Sarananya sendiri masih lebih besar sedikit dari trem pedesaan yang pernah ada di pedalaman Karawang dan Cikampek dengan lebar sepur 600 mm. Saat ini boleh dibilang keberadaan trem peninggalan zaman kolonial itu tinggal cerita. Selain jalur yang sudah raib, banyak bangunan stasiun, balai yasa kini sudah berubah fungsi bahkan dibongkar.

Keunikan lain adalah trem Aceh pada zaman kolonial Belanda merupakan satu-satunya yang berorientasi kepentingan perang. Tidak seperti di Jawa yang pengadaannya diperoleh melalui pembelian, lahan untuk jalur rel di Aceh berasal dari bekas teritorial Kesultanan Aceh yang berhasil direbut dan dikuasai pasukan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Sebagai hasil dari aneksasi wilayah, lahan-lahan itu disahkan kepemilikannya menjadi aset langsung Angkatan Darat Tentara Kerajaan Hindia Belanda melalui hukum militer.

Setelah Kerajaan Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873, Belanda mengirimkan gelombang pertama agresi militernya terhadap Kesultanan Aceh. Pada 12 April 1873 istana Mahmud Syah di Kotaraja (Banda Aceh) berhasil diduduki Belanda. Meski demikian perlawanan rakyat Aceh bukan berarti berakhir, malah dalam penyerbuan ke Masjid Raya Banda Aceh, Belanda justru bernasib sial. Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler yang mengomandani ekspedisi pasukan KNIL ke Aceh harus meregang nyawa akibat ditembak sniper Aceh.

Baru pada 26 April 1874 situasi di Banda Aceh dapat dikuasai sepenuhnya oleh pengganti Kohler yaitu Jenderal Jan van Swieten walaupun keamanan di luar kota masih sangat rawan. Setelah van Swieten kembali ke Batavia, pimpinan militer di Aceh dipegang oleh Mayor Jenderal Johanes Ludovicious Jacobus Hubertus Pel. Sebagai komandan sekaligus kepala pemerintahan darurat di Aceh, tuan Pel sendiri agaknya tidak mampu berbuat banyak. Selain masalah buruknya kesehatan yang menimpa orang-orang Belanda di kota, serangan pasukan Aceh secara silih berganti masih saja terus terjadi.

Rupanya komandan Pel terkagum-kagum jalur kereta api pertama di Jawa yang baru saja diresmikan pada 1873. Sebagai seorang tentara, Pel melihat jalur kereta api antara pelabuhan Semarang dengan benteng Willem di Ambarawa telah mampu meningkatkan mobilitas militer di pedalaman dalam menekan gangguan keamanan dari sisa-sisa pendukung Diponegoro.

Singkatnya ia menulis surat kepada Gubernur Jenderal James Loudon tentang betapa pentingnya infrastruktur jalur kereta api untuk mendukung proses penaklukan Kesultanan Aceh di pedalaman. Surat jenderal Pel itu langsung mendapat sambutan baik. Gubernur Jenderal Loudon memberikan kewenangan luas kepada militer untuk secepatnya mengambil tindakan yang diperlukan.

Markas besar KNIL di Bandung pun segera menunjuk tiga orang untuk merancang jalur rel kereta api dari pelabuhan menuju pusat kota. Mereka terdiri dari seorang perwira zeni dari Angkatan Darat, perwira Angkatan Laut, dan dibantu oleh satu insinyur sipil. Pada 24 Mei 1874 rancangan selesai dan langsung disetujui oleh Loudon sendiri. Sang Gubernur Jenderal berharap dengan adanya jalur rel tersebut akan memudahkan suplai militer dari kapal-kapal di pelabuhan menuju Banda Aceh yang menjadi kedudukan penting Belanda.

Sebulan kemudian, tepatnya pada 26 Juni 1874 divisi zeni KNIL memulai pembangunan jalur. Dana yang disiapkan sebanyak 540 ribu Gulden berasal dari Kementerian Jajahan Belanda yang diberikan melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Awalnya pembangunan jalur dilakukan dengan standar rel di Jawa, yaitu 1067 mm. Pembangunan lintas pertama ternyata butuh waktu lebih dari dua tahun karena dilaksanakan dalam kondisi perang dengan situasi keamanan masih sangat rawan. Mayor Jendral Pel sebagai pimpinan tertinggi Belanda di Aceh baru sadar bahwa kekuatan utama tentara Kesultanan Aceh masih utuh walau ibukotanya telah direbut. Saat itu Perang Aceh yang sebenarnya baru dimulai.

 Pada pada 12 November 1876, rel sepanjang hampir 5 kilometer mulai dari Pelabuhan Ulee Lheue menuju Banda Aceh selesai dibangun dan resmi digunakan. Jalur itu sendiri merupakan yang pertama kali dioperasikan di Sumatera dengan lebar sepur 1067 mm. Pada 1884, pasukan zeni mengganti lebar sepur 1067 mm menjadi 750 mm dalam rangka penghematan biaya perang.

Selama 41 tahun dalam rangka mendukung gerak artileri dan suplai perbekalan pasukan KNIL melawan tentara Kesultanan Aceh, zeni Belanda telah berhasil menghubungkan seluruh pesisir pantai utara–pantai timur mulai dari Oelee Lheue, Banda Aceh, sampai berakhir di Pangkalan Susu Sumatera Utara. Ketika perang berakhir dan keamanan dianggap sudah terkendali, pada 1916 seluruh aset perkeretaapian Aceh dialihkan kepemilikannya dari Kementerian Peperangan menjadi bagian dari Staatsspoor en Tramwegen (SS) di bawah Kementerian BUMN (Departement van Gouvernement Bedrijven). Sejak saat itu pengelolaannya diselenggarakan oleh Atjeh Tram (AT) yang merupakan divisi dari SS.

Memasuki Perang Dunia II, Atjeh Tram diambil alih oleh Jepang pada 1942 dan perusahaannya di bawah kontrol pemerintahan militer Jepang. Seperti berulang, keadaannya pun kembali seperti 66 tahun sebelumnya, di mana manajemen trem Aceh harus dijalankan dalam kondisi perang.

Setelah Perang Dunia II berakhir, tentara Jepang berangsur-angsur meninggalkan Aceh tanpa digantikan oleh pasukan pendudukan Sekutu sebagaimana terjadi di wilayah lain di Indonesia. Di dalam situasi kekosongan kekuasaan atas pemerintahan di sana, trem Aceh segera dikuasai oleh orang-orang setempat. Para pejuang lokal itulah yang kemudian bersama elite-elite Aceh mengintegrasikan diri ke dalam pemerintahan Republik Indonesia yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Selama masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949, trem Aceh masuk ke dalam bagian dari Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).*

1 Pic rev

Stasiun dan Balai Yasa Sigli, Aceh pada 1906. Sumber: KITLV

Sumber:

Marihandono, Djoko dkk. Perkembangan Trem Aceh 1874-1950. Bandung: Aset Non Railway, 2015

Simeon, R. Oerip. KISSAH KERETA API INDONESIA S.S./S.S.-V.S./D.K.A.-R.I./D.K.A. Tjetakan Pertama, Djilid Ke-1. Bandung, Pengurus Besar Persatuan Buruh Kereta Api, 1953